Dalam artikelnya yang berjudul “A Pure Theory of Local Expenditures”, Tiebout mengusulkan bahwa masyarakat akan “memilih dengan kaki” — berpindah ke yurisdiksi yang menawarkan pelayanan publik terbaik dengan pajak terendah. Teori ini menjelaskan bahwa pemekaran atau pembentukan unit administrasi baru bisa memicu persaingan antar daerah dalam menyediakan pelayanan publik.
Rencana pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Makian-Kayoa muncul sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat kepulauan yang merasa terpinggirkan dari pusat administrasi Kabupaten Halmahera Selatan. Secara spasial, posisi pulau-pulau seperti Makian dan Kayoa yang terpisah dari daratan utama menciptakan hambatan geografis dalam pelayanan publik, infrastruktur, dan mobilitas sosial-ekonomi.
Dalam konteks geografi lingkungan di Amerika, ada perdebatan klasik antara environmental determinism (lingkungan menentukan perkembangan manusia) dan possibilism (lingkungan menyediakan kemungkinan, tetapi manusia yang menentukan). Pendekatan possibilism, yang lebih modern, menilai bahwa meskipun Makian-Kayoa adalah wilayah kepulauan dengan keterbatasan geografis, potensi untuk berkembang tetap ada jika disertai intervensi kebijakan yang cerdas dan teknologi yang adaptif. Artinya, keterisolasian geografis tidak serta merta menjadi alasan pemekaran, melainkan harus disandingkan dengan kapasitas perencanaan dan inovasi.
Wilayah Makian-Kayoa yang terdiri dari pulau-pulau kecil dengan sumber daya besar tapi terbatas yang akan menghadapi tantangan berat bila dijadikan entitas administratif sendiri tanpa perencanaan spasial yang matang. Infrastruktur dasar seperti dermaga, rumah sakit, sekolah menengah, dan sistem logistik antar-pulau belum memadai. Dengan sumber daya alam yang terbatas, tekanan terhadap lingkungan justru bisa meningkat jika DOB ini dibentuk tanpa peta jalan pembangunan yang berbasis konservasi.
Dalam buku “The Organization of Government in Metropolitan Areas,” para Ostrom menekankan bahwa keberagaman pemerintahan lokal memungkinkan warga memilih institusi yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka. Namun, mereka juga menekankan pentingnya polycentric governance—di mana berbagai aktor dan institusi bisa bekerja sama lintas batas administratif. Jika DOB Makian-Kayoa berdiri tapi terputus dari jejaring koordinasi regional, maka efektivitas tata kelolanya akan rendah, terutama dalam hal penanganan isu-isu seperti migrasi, lingkungan, dan transportasi antarpulau.
Dari sisi teori politik, pemekaran wilayah kerap kali tidak lepas dari tarik-menarik kepentingan elit lokal. Dalam pandangan Harold Lasswell, politik adalah soal “who gets what, when, and how.” Maka tak heran jika DOB sering kali dikendarai oleh aktor-aktor politik yang mengincar posisi kepala daerah, anggaran belanja, dan kontrol atas proyek-proyek pembangunan. Wacana Makian-Kayoa juga berpotensi mengulang pola ini, apalagi jika tidak disertai mekanisme kontrol sosial dan partisipasi publik yang kuat. Risiko politisasi pemekaran dapat menghasilkan birokrasi baru yang tidak efisien, sekaligus memperlebar jurang antara elite dan rakyat.
Selain itu, berdasarkan studi dari The Asia Foundation (2020), banyak DOB di Indonesia yang justru mengalami kemunduran dalam hal pelayanan publik dan peningkatan kesejahteraan. Hal ini umumnya disebabkan oleh lemahnya kapasitas fiskal, minimnya sumber daya manusia terlatih, dan ketergantungan akut pada dana transfer pusat. Misalnya, Kabupaten Tambrauw di Papua Barat dan Kabupaten Malaka di Nusa Tenggara Timur. Tambrauw, yang dimekarkan pada 2008, selama bertahun-tahun kesulitan membangun pusat pemerintahan karena belum memiliki fasilitas dasar dan SDM birokrasi yang memadai. Sementara itu, Malaka yang resmi berdiri pada 2012, masih menghadapi kendala pembangunan infrastruktur dasar dan pelayanan kesehatan, bahkan beberapa kecamatan belum memiliki akses listrik yang stabil. Ini menunjukkan bahwa pemekaran tanpa kesiapan struktural justru menghasilkan entitas administratif yang rapuh dan tidak mandiri.
Dari perspektif pemerataan pembangunan, DOB memang kerap dilihat sebagai solusi struktural. Namun, pendekatan developmental state seperti dikembangkan oleh Peter Evans mengingatkan bahwa negara (dan daerah) baru hanya akan efektif jika memiliki kapasitas institusional yang kuat, bukan semata-mata didorong oleh keinginan politik. Apabila rencana Makian-Kayoa lebih banyak digerakkan oleh semangat simbolik tanpa kesiapan administratif, maka hasilnya hanya akan menjadi beban anggaran dan sumber konflik baru antar kelompok.
Oleh karena itu, pemekaran Makian-Kayoa sepatutnya ditinjau ulang dengan pendekatan holistik berbasis geografi kritis dan teori pembangunan politik. Rakyat di Makian dan Kayoa memang memiliki hak untuk menuntut layanan dan keadilan spasial, namun pemerintah pusat dan daerah harus memastikan bahwa pemekaran ini benar-benar menjawab kebutuhan struktural dan bukan sekadar memfasilitasi ambisi kekuasaan.
Ini hanya sebuah opini, akan tetapi kami mendukung desentralisasi Makian-Kayoa karena ini adalah identitas yang tidak terlupakan sebagai poros baru dalam menghadapi problem sentris regional.