Diduga Dimonopoli Satu Keluarga, Distribusi BBM Subsidi di Labuha Dikeluhkan Warga

Praktisi Hukum: Ada Sanksi Pidana bagi Pelaku dan Pemberi Izin

kawasiglobal.id HALSEL-Sejumlah warga RT 4 Amasing Kota HM Taher mengeluhkan kesulitan mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) di pangkalan setempat. Meski telah berulang kali datang, stok BBM selalu habis, menimbulkan pertanyaan besar terkait ke mana sebetulnya pasokan BBM ini dialirkan. Padahal, dalam satu RT terdapat lima pangkalan resmi (5/3/2025)

Kelima pangkalan tersebut—Pangkalan 89, Amasing Kota, Spion RT, 71 Bacan Raya, 68 Lor Labay, dan 60 Silvana—diketahui dimiliki oleh satu keluarga. Kondisi ini memicu dugaan kuat adanya praktik monopoli yang berpotensi merugikan masyarakat.

Warga mulai mempertanyakan siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas dugaan permainan distribusi ini. “Kami sudah tiga kali ke pangkalan, tapi selalu kehabisan. Kalau memang ada dugaan penimbunan atau distribusi yang tidak merata, siapa yang harus diawasi? Kami hanya butuh kepastian dan keadilan,” ujar salah seorang warga, Selasa (5/3).

Ironisnya, situasi ini bukan kali pertama terjadi, namun dinas terkait seolah menutup mata. Tidak ada transparansi dalam pengawasan distribusi BBM, dan laporan warga selama ini seperti tak pernah mendapat tanggapan serius.

Menanggapi hal ini, praktisi hukum Bambang Joisangadji menegaskan bahwa praktik penyalahgunaan distribusi BBM tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga bisa berimplikasi hukum bagi pemberi izin yang lalai dalam pengawasan. “Jika terbukti ada monopoli dan penyalahgunaan distribusi BBM, maka ini bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga bisa masuk ke ranah pidana. Dinas terkait harus bertanggung jawab. Pengawasan yang lemah berkontribusi pada kelangkaan BBM dan merugikan masyarakat,” tegas Bambang.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Pasal 55 menyebutkan bahwa setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga bahan bakar minyak yang disubsidi pemerintah dapat dijerat hukuman pidana hingga 6 tahun penjara serta denda maksimal Rp60 miliar.

Selain itu, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014, badan usaha yang melakukan penimbunan atau distribusi tidak merata bisa dikenakan peringatan tertulis, pembekuan izin, hingga pencabutan izin usaha. Namun, hingga berita ini diturunkan, pihak dinas terkait belum memberikan tanggapan resmi, menambah kuat dugaan adanya pembiaran dalam persoalan ini. Jika pengawasan tetap lemah, bukan tidak mungkin praktik serupa akan terus berulang dan semakin merugikan masyarakat. (ay)