By; Safri Nyong, SH.
Sebagai pendahuluan danri diskursus tentang mekanisme pemberhentian kepala desa, Kepala Desa merupakan pemimpin pemerintahan desa yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat desa dan memiliki legitimasi kuat berdasarkan hasil pemilihan langsung.
Dalam sistem pemerintahan desa di Indonesia, Kepala Desa memiliki posisi strategis sebagai pemimpin yang dipilih secara langsung oleh masyarakat. Proses pemilihan ini memberikan legitimasi demokratis yang kuat, sehingga Kepala Desa bukan hanya seorang pejabat administratif, tetapi juga representasi dari aspirasi masyarakat desa.
Namun, dalam praktiknya, sering muncul perdebatan mengenai kewenangan pemberhentian Kepala Desa, terutama terkait sejauh mana Bupati/Wali Kota memiliki otoritas dalam proses tersebut. Apakah Kepala Desa dapat diberhentikan hanya berdasarkan keputusan kepala daerah, ataukah ada batasan hukum yang harus dipatuhi?
Isu ini menjadi semakin kompleks ketika dikaitkan dengan diskursus demokrasi, desentralisasi, serta potensi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam pemerintahan daerah. Sehingga, perlu analisis yang lebih mendalam mengenai keseimbangan antara kewenangan pemerintah daerah dan perlindungan terhadap legitimasi Kepala Desa sebagai pemimpin yang dipilih rakyat.
Dalam kerangka demokrasi, desa bukan hanya entitas administratif, tetapi juga unit pemerintahan yang memiliki hak otonomi dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Konsep ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), yang memberikan hak kepada masyarakat desa untuk memilih dan mengawasi pemimpinnya sendiri.Beberapa poin penting yang menjadi bagian dari diskursus ini adalah:
Dalam kerangka demokrasi, desa bukan hanya entitas administratif, tetapi juga unit pemerintahan yang memiliki hak otonomi dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Konsep ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), yang memberikan hak kepada masyarakat desa untuk memilih dan mengawasi pemimpinnya sendiri.
Beberapa poin penting yang menjadi bagian dari diskursus ini adalah:
- Kedaulatan Rakyat dalam Pemerintahan Desa
- Pemilihan Kepala Desa mencerminkan kedaulatan rakyat di tingkat desa, sehingga pemberhentiannya tidak boleh bertentangan dengan prinsip demokrasi.
- Jika Bupati/Wali Kota memiliki kewenangan penuh untuk memberhentikan Kepala Desa tanpa mekanisme yang jelas, maka ini bertentangan dengan semangat desentralisasi dan demokratisasi desa.
- Desentralisasi dan Otonomi Desa dalam Sistem Pemerintahan
- UU Desa memberikan kewenangan kepada desa untuk mengatur dan mengurus pemerintahan serta kepentingan masyarakatnya sendiri.
- Pemberhentian Kepala Desa yang dilakukan tanpa mempertimbangkan suara masyarakat desa berpotensi melanggar prinsip otonomi desa.
- Politik Lokal dan Potensi Penyalahgunaan Wewenang
- Dalam beberapa kasus, pemberhentian Kepala Desa digunakan sebagai alat politik untuk kepentingan tertentu.
- Kepala Daerah yang memiliki kepentingan politik tertentu bisa saja menggunakan kewenangannya untuk memberhentikan Kepala Desa yang tidak sejalan dengan kebijakan atau kepentingannya.
Dari beberapa poin seperti dipaparkan di atas menjelaskan bahwa desa memiliki hak penuh untuk membangun dan rumah tangganya secara mandiri. Tentunya, masyarkat adalah yang menentukan kedaulatanya sendiri dalam desa.
Sebagai bagian dari sistem pemerintahan yang lebih luas, desa memang tidak bisa sepenuhnya berdiri sendiri. Namun, apakah ini berarti Bupati/Wali Kota memiliki kendali penuh atas kepala desa?
Ada dua pendekatan yang sering digunakan dalam wacana ini:
- Pendekatan Sentralistik
- Menganggap bahwa desa adalah bagian dari sistem pemerintahan daerah, sehingga Bupati/Wali Kota memiliki kewenangan penuh dalam mengatur dan mengontrol pemerintahan desa.
- Pandangan ini menempatkan Kepala Desa sebagai bawahan langsung kepala daerah, sehingga keputusan pemberhentiannya menjadi bagian dari kewenangan eksekutif daerah.
- Pendekatan Desentralistik
- Menekankan bahwa desa memiliki hak otonomi sendiri dan Kepala Desa adalah pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat desa.
- Dalam pendekatan ini, Bupati/Wali Kota tidak memiliki kewenangan mutlak untuk memberhentikan Kepala Desa, kecuali dalam kondisi yang diatur secara tegas dalam hukum.
- Dampak terhadap Hubungan Pemerintah Daerah dan Desa
- Jika kepala daerah terlalu dominan dalam mengatur desa, maka akan terjadi pengikisan otonomi desa yang seharusnya dijamin oleh undang-undang.
- Hal ini juga bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat desa terhadap pemerintah daerah, karena dianggap mencampuri urusan desa tanpa dasar hukum yang kuat.
Implikasi Hukum dan Demokrasi
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, pemberhentian Kepala Desa harus mengikuti prinsip-prinsip hukum, demokrasi, dan good governance. Jika pemberhentian dilakukan tanpa dasar hukum yang sah, maka ada beberapa dampak yang perlu diperhatikan:
- Dampak terhadap Demokrasi Desa
- Jika Kepala Desa bisa diberhentikan secara sepihak oleh Bupati/Wali Kota, maka pemilihan langsung oleh masyarakat desa menjadi kehilangan maknanya. Hal ini juga dapat menciptakan ketidakstabilan politik di desa, karena setiap perubahan kepemimpinan bisa didasarkan pada kepentingan politik, bukan mekanisme hukum yang jelas.
- Dampak terhadap Kepastian Hukum
- Penyalahgunaan kewenangan dalam pemberhentian Kepala Desa berpotensi melanggar asas legalitas dalam administrasi pemerintahan.Kepala Desa yang diberhentikan secara tidak sah dapat menggugat keputusan tersebut ke PTUN, sehingga akan terjadi konflik hukum yang berlarut-larut.
- Dampak terhadap Hubungan Pemerintah Daerah dan Desa
- Jika kepala daerah terlalu dominan dalam mengatur desa, maka akan terjadi pengikisan otonomi desa yang seharusnya dijamin oleh undang-undang.Hal ini juga bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat desa terhadap pemerintah daerah, karena dianggap mencampuri urusan desa tanpa dasar hukum yang kuat.
Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
Dalam perspektif demokrasi dan hukum, pemberhentian Kepala Desa tidak boleh menjadi alat politik bagi kepala daerah, melainkan harus melalui mekanisme hukum yang objektif dan adil. Pemerintah daerah harus menghormati kedaulatan desa serta memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil selaras dengan prinsip good governance, desentralisasi, dan demokrasi.
Dengan demikian, perlu ada pengawasan ketat terhadap kewenangan kepala daerah dalam pemberhentian Kepala Desa, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang yang dapat merusak sistem pemerintahan desa yang demokratis dan berkeadilan.
2. Rekomendasi
Beberpa Rekomendasi perlu disampaikan sebagain pertimbangan dan rujukan serta pendekatan yang perlu dipakai oleh kepala daerah dalam pengambilan keputusan pemberhentian kepala desa. Diantaranya sebagai berikut;
- Pemberhentian Kepala Desa Harus Sesuai Mekanisme Hukum
- Artinya bahwa Kepala Desa sebagai pemimpin yang dipilih secara demokratis tidak boleh diberhentikan hanya berdasarkan keputusan politik kepala daerah, melainkan harus melalui mekanisme hukum yang sah sebagaimana diatur dalam UU Desa, PP 43/2014, dan Permendagri 66/2017.
- Pemberhentian Kepala Desa Harus Melibatkan Proses Musyawarah Desa
- Mengingat desa memiliki otonomi sendiri, maka pemberhentian Kepala Desa seharusnya mempertimbangkan pendapat masyarakat desa, bukan hanya berdasarkan keputusan sepihak pemerintah daerah.
- Bupati/Wali Kota Tidak Memiliki Kewenangan Absolut untuk Memberhentikan Kepala Desa
- Kepala Daerah hanya dapat memberhentikan Kepala Desa jika ada pelanggaran berat yang telah diproses melalui mekanisme hukum yang benar, seperti putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau rekomendasi resmi dari instansi terkait.
- Kepala Desa yang Diberhentikan Secara Sepihak Berhak Mengajukan Gugatan Hukum
- Jika terjadi pemberhentian Kepala Desa yang tidak sesuai prosedur, maka Kepala Desa yang diberhentikan berhak mengajukan gugatan ke PTUN untuk membatalkan keputusan tersebut.
- Menjaga Prinsip Demokrasi dan Supremasi Hukum
- Setiap keputusan terkait pemberhentian Kepala Desa harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan berdasarkan asas hukum yang berlaku di Indonesia.